This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 09 Agustus 2012

Penyikapan konflik dalam dalam organisasi







 Ada kebenaran umum yang sering dipakai untuk menjelaskan konflik ini dalam kajian komunikasi. Katanya, konflik itu adalah konsekuensi dari interaksi. Kalau tidak berkonflik, ya jangan berinteraksi. Atau juga bisa diartikan, kalau masih punya kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia, mau tidak mau, kita harus siap menghadapi konflik.

Ada juga pepatah yang isinya mirip seperti kebenaran umum itu. Pepatah itu mengatakan, jika kita mengharapkan adanya seseorang yang jiwa dan raganya 100% sempurna seperti yang kita inginkan, karena kita mengkhawatirkan konflik atau lainnya, caranya simpel. Kita tinggal mengunci kamar dan tinggal sendirian di dalam. Dijamin pasti tidak akan pernah berkonflik dengan  manusia manapun.
 
Oleh Horney (Our inner conflict: 1945) dikatakan bahwa kebutuhan manusia itu pada dasarnya bisa digolongkan menjadi tiga di bawah ini:
1.  Kita butuh bergerak mendekati orang untuk mendapatkan cinta
2.  Kita butuh menjauhi orang untuk mendapatkan kebebasan dan kemandirian
3.  Kita butuh  menentang orang untuk menunjukkan kekuatan 
 
Meski penjelasan di atas nampak ekstrem atau sepertinya hitam-putih, tapi kalau melihat realitas kehidupan organisasi sehari-hari, baik dari skala paling mikro sampai ke paling makro, memang konflik itu lebih sering merupakan kenyataan yang sulit dihindari. Bahkan pandangan yang skeptik-pesimistik-nya mengatakan,  konflik itu keniscayaan. Kedamaian sendiri terkadang harus ditempuh dengan perang.
 
Secara spiritualnya, kita diajarkan untuk melihat konflik dengan dua penyikapan. Pertama, kita dianjurkan untuk menghindari berbagai hal yang memancing atau mengakibatkan konflik, sekuat tenaga kita. Orang Indonesia terkenal ramah, tepo seliro dan saling menghormati (katanya). Sebenarnya inti dari nilai itu ingin mengatakan bahwa konflik tidak berarti rusaknya tatanan keharmonisan dan persaudaraan, karena konflik itu hanya merupakan indikator adanya perbedaan yang perlu disinkronisasikan demi mencapai tujuan yang satu dan sama.   
 
Kedua, ketika konflik itu sudah tak bisa dihindari lagi, entah sengaja atau tidak,  yang perlu dijaga adalah jangan sampai salah arah hingga skalanya terus memanas dan akhirnya berubah menjadi permusuhan atau menimbulkan efek yang merusak, seperti misalnya permusuhan batin, baku hantam, dan seterusnya. Sekuat apapun organisasi itu di-back-up oleh resources, tapi kalau konfliknya di dalam terus memanas, maka organisasi itu akan kehilangan wibawa atau kekuatannya.
"Hindarilah perdebatan, walaupun anda benar, ketika itu ujung-ujungnya konflik, lebih-lebih permusuhan."
 
 
Tergantung Frekuensi dan Efek  
Meskipun konflik itu tetaplah konflik, tapi kalau dilihat dari efeknya, kita bisa membedakan sedikitnya menjadi dua. Pertama, ada konflik yang masih fungsional. Konflik dikatakan fungsional ketika materi yang konflikkan itu terkait dengan perbedaan tentang bagaimana memacu organisasi untuk lebih maju lagi.
 
Konflik fungsional masih menggunakan cara-cara beradab atau terbuka dalam menyikapi perbedaan sehingga masih bisa diambil sisi-sisi positif dari setiap perbedaan dan masing-masing pihak masih memiliki hubungan kemanusiaan yang harmonis. Berdasarkan praktek hidup, konflik disebut fungsional bukan karena konfliknya, tetapi lebih karena penyikapannya.
 
Kedua, ada yang sudah disfungsional. Konflik akan dikatakan sudah disfungsional ketika telah mengarah kepada penyerangan, pemboikotan, atau penghinaan antar anggota organisasi. Biasanya, konflik semacam ini terjadi ketika konflik itu sudah mendewakan kepentingan pribadi-pribadi di atas kapal organisasi, menempuh cara-cara penyerangan secara di balik layar atau melalui skenario keji. Pihak yang paling dirugikan pertama kali sebetulnya adalah organisasi.
 
Hal lain yang juga perlu dilihat dari munculnya konflik dalam organisasi adalah frekuensinya. Secara frekuensi, organisasi perlu melihat apakah konflik di dalam organisasi itu sifatnya masih temporal dan insidental untuk hal-hal tertentu atau keadaan tertentu ataukah memang sudah kronis. Kronis artinya terus menerus berlangsung atau sudah seperti penyakit yang tak sembuh-sembuh.
 
Secara logika bisa dikatakan bahwa ketika konflik itu masih temporal atau insidental, bisalah kita memahaminya masih dalam ambang wajar. Tapi kalau sudah kronis, mau tak mau, organisasi perlu memikirkan pemecahannya. Sebab kalau tidak, konflik itu mudah mengundang konflik lain ke tingkat yang sudah multi-dimensi.
 
 
Pemicu Konflik  
Apa yang membuat organisasi itu sangat rentan terhadap munculnya konflik? Secara superfisial (permukaan), atau bisa dikatakan sebagai sebab-sebab umum, konflik dalam organisasi itu sering dipicu oleh beberapa hal di bawah ini:
 
Pertama, definisi tanggung jawab atau tugas yang tidak jelas, tidak disepakati secara jelas, atau tidak dijalankan dengan jelas. Semua ketidakjelasan ini sangat merentantankan terjadinya tabrakan antarindividu dalam organisasi. Meskipun pasti tidak ada organisasi yang sanggup merumuskan seluruh tuntutan dan tugas secara tertulis, tapi pembagian tugas yang bisa dijadikan acuan individu untuk berperan tetaplah dibutuhkan.
 
Pembagian tugas pun terkadang tidak menjamin jika penjabarannya terlalu ketat atau belum sesuai dengan kebutuhan. Idealnya, dalam rumusan pembagian tugas itu tetaplah harus ada tugas-tugas yang bisa disebut mekanistik atau siapa mengerjakan apa secara definitif dan ada tugas yang bisa disebut organistik atau tugas-tugas yang perlu dijalankan berdasarkan cara kerja panggilan naluri dan nurani. Ini semua akan bekerja secara harmonis berdasarkan pengalaman dan proses.
 
Kedua, persoalan resources, baik itu uang, materi, fasilitas, ruang, dll. Semua organisasi pasti mengalami kekurangan sumberdaya. Persoalan ini tidak hanya soal kurangnya resources, tapi konflik juga bisa timbul kalau kelebihan resources. Kegagalan mengelola keterbatasan resources, bisa menimbulkan konflik. Misalnya, sanggup mengelola keterbatasan dengan tidak membuat program yang tak sesuai kapasitas dan ada yang programnya melebihi pasak daripada tiang. Sekedar catatan, program yang tak sesuai dengan resource sangat memicu konflik, meski belum tentu menciptakan konflik, tapi positifnya, bisa menghasilkan proses kreatif jika orang-orang bisa berpikir dan bekerja untuk organisasi, bukan untuk kepentingan diri sendiri.
 
Fasilitas yang melimpah ruah tidak menjamin hilangnya sumber konflik. Bahkan kalau merenungkan nasehatnya John Dewey, resource dalam arti materi, itu relatif tersedia untuk semua tingkatan organisasi. Yang justru sering krisis adalah ide atau gagasan untuk menggunakan internal resources manusia, misalnya tidak menggunakan kreativitias, inisiatif, kemampuan inovatif, daya tahan mental, dsb.  Kurangnya penggunaan resource potensi manusia itu yang akhirnya sering membuat organisasi benar-benar mengalami kerugian resource dalam arti materi.
 
Ketiga, ada self-interest yang sifatnya egoistik dari sebagian orang di dalam organisasi itu. Self-interest akan mendikte perilaku seseorang untuk melawan, mengalahkan, atau menolak kesepakatan bersama. Karenanya akan memicu konflik. Agar self-interest ini tidak muncul, maka organisasi dituntut untuk merumuskan program yang bisa mengayomi keinginan kolektif dan individu secara adil, bukan semata berdasarkan klaim.
"Organisasi dituntut untuk merumuskan program yang bisa mengayomi keinginan kolektif dan individu secara adil, bukan semata berdasarkan klaim."
 
 
Peranan Leadership  
Peranan kepemimpinan sangat vital. Selain berperan untuk mengelola berbagai faktor pemicu di atas, kepemimpinan juga berperan untuk menampilkan model dan kualitas kepemimpinan yang tidak mengundang konflik. Model kepemimpinan yang terlalu otoriter terkadang sama rawannya dengan model kepemimpinan yang terlalu demokratis.
 
Terlalu otoriter dapat menciptakan suasana ketegangan dan kebuntuan inisiatif. Tapi kalau terlalu demokratis, ini juga dapat memberi ruang kebebasan yang tanpa batas. Ketegangan dan keliaran sama-sama merawankan konflik. Karena itu sering dikatakan bahwa syarat kepemimpinan yang mendasar adalah kemampuan seseorang dalam memimpin dirinya lebih dulu (self-control).
 
Kepekaan kontrol akan memampukan seseorang untuk mengurangi yang berlebihan, menambah yang kurang atau menyesuaikan keadaan. Pada dasarnya, semua model kepemimpinan itu ada baiknya, asalkan digunakan untuk kondisi yang tepat, dalam porsi yang tidak kebablasan dan dijalankan oleh  orang yang visinya bukan untuk kepentingan pribadi.
 
Nilai–nilai universal, nilai kultural atau nilai personal yang dijadikan acuan dalam organisasi itu juga punya keterkaitan dengan konflik. Organisasi yang nilai-nilainya sudah menjadi budaya hidup akan lebih terhindar dari munculnya konflik yang sudah disfungsional atau kronis. Ini karena nilai-nilai itulah yang membimbing semua orang dalam organisasi.
 
Tetapi jika nilai-nilai itu hanya dijadikan "alat kepentingan" atau sekedar tulisan yang dipampang di tembok, biasanya wibawa nilai-nilai itu kurang dahsyat membentuk prilaku. Artinya, kepemimpin itu menuntut siapa saja untuk menjadi "man of value", bukan semata "man of interest". Karena itu, meminjam istilahnya Peter Senge (Learning Organization, Dr. Sue Faerman: 1996),  kepemimpinan dalam organisasi itu perlu berperan sebagai berikut:
1.  Designer: merumuskan apa yang perlu dilakukan,  mendesain pembagian tugas secara proporsional, adil, dan sesuai kompetensi orang-orang yang dimiliki
2.  Teacher : guru yang membina keahlian kerja dan membimbing pribadinya
3.  Steward : pemberi guidance dalam melaksanakan tugas atau dalam menyelesaikan masalah
 
Bagi Senge, ketiga peranan di atas adalah syarat untuk menjadikan organisasi sebagai tempat belajar bagi orang-orang di dalamnya. Belajar berarti mengubah diri untuk mengubah keadaan. Organisasi yang belajar menuntut individu yang belajar. Konflik akan relatif menjauhi individu yang belajar. Kalau pun konflik itu harus terjadi, biasanya tak sampai mengakibatkan kerusakan.
"Kepemimpin itu menuntut siapa saja untuk menjadi man of value, bukan semata man of interest".
 
 
Lebih Baik Ada Pemimpin
Ketika konteksnya organisasi, mau itu keluarga, usaha, sosial, atau negara sekali pun, kehadiran kepemimpinann sangatlah vital dalam mencegah konflik atau dalam mengarahkan energi organisasi untuk belajar dari konflik. Kenapa? Salah satu alasannya adalah, ketika manusia masuk dalam organisasi, biasanya yang paling menonjol adalah watak sosialnya.
 
Semua watak sosial manusia memiliki ciri yang sama, yaitu membutuhkan kehadiran orang lain yang membimbing, melatih, mengontrol, atau memimpin. Karena itu dikatakan bahwa organisasi itu akan lebih baik ada orang yang memimpin atau dianggap sebagai pemimpin, meski dia bukan sosok yang sempurna, ketimbang tidak ada pemimpinnya sama sekali.
 
Kita mungkin sudah sering mendengar cerita dimana ada sejumlah orang pintar yang ditugaskan untuk sebuah misi, namun akhirnya gagal mencapai tujuan dari misi. Mereka bertengkar karena masing-masing merasa menjadi pemimpin yang sama pintarnya. Tapi, giliran yang ditugaskan itu ada orang pintarnya yang menjadi pemimpin atau dianggap pemimpin oleh yang lain, ternyata hasilnya lebih bagus.  

Pertanyaan seorang penjahat



hai semua...????
perkenalkan aku seorang penjahat.,
yang lelah terdiam karena tiada pahlawan yang mampu bertindak adil
yang juga kecapaian melihat orang orang yang suka menilai orang lain
aku mencari seorang pahlawan..
ada yang tau tentang pahlawan..???
atau ada ngga yang tau tentang siapa itu penjahat..???
bagaimana rupa penjahat..???
bagaimana kelakuan penjahat..??
apakah orang yang banyak bicara itu penjahat..??
orang yang memebunuh juga disebut penjahat..???
atau mungkin musuhmulah yang kau sebut penjahat..???
mungkin sekelompok pencabul atau anak jalanann adalah penjahat..???
atau bahkan sang pendekte juga disebut penjahat...??
sebagian orang dan anak juga menganggap guru dan orang tuanya penjahat..,,
lalu seperti apa penjahat..???
atau memang ternyata kitalah penjahat itu..,,
menghianati orang lain,memusuhi orang lain,menjustifikasi orang lain
menegatifkan diri sendiri dan orang lain.,,

hei jangan diam saja..!!!
jawablah seperti apa penjahat..???
atau jangan jangan yang suka menilai orang lain juga penjahat,..???
terlepas dari positif atau negatif penilaian itu..
atau mungkin kalian yang diam saja juga penjahat...???
tiada berani menyatakan kesalahan orang lain agar dia beajar.,,
tuhan.....!!!
jawablah pertanyaanku...!!!!
pertanyaan seorang penjahat.,,

Rabu, 08 Agustus 2012

Budaya Tumben dan Upacara Jual Muka



Akhir akhir ini masyarakt kabupaten nganjuk tangah dilanda budaya tumben dan upacara jual muka,sebuah budaya dan tradisi baru yang diadakan oleh beberapa kelompok orang terkait peringatan "pilihlah saya". Pemilihan kepala daerah yang sejatinya akan dilaksanakan sekitar bulan Desember kelak tidak begitu memancing banyak simpati rakyat kecil termasuk penulis. Namun setidaknya menjadikan penulis melihat trend serta tradisi turun temurun yang sedikit memuakkan dimana kota dan desa yang bersih menjadi penuuh dengan poster dan spanduk spanduk konyol yang berjejal jejal hanya untuk memeparkan wajah konyol para calon sudah dimulai. Pasar pasar menjadi sasaran empuk kampanye, bagi sebagian besar masyarakat indonesia hal seperti ini sudahlah tidak asing lagi terutama saat mendekati pemilu, budaya Tumben ini sudah sangat melekat erat dibenak sebagian besar rakyat indonesia,dimana yang dalam salah satu upacaranya banyak diminati oleh masyarakat adalah ketika para calon banyak memeberikan sumbangan sumbangan kepada rakyat tidak mampu serta perhatian lebih yang tidak seperti biasanya,inilah yang disebut dengan upacara jual muka. Para calon berlomba lomba mencari muka didepan masyarakat demi sebuah harapan agar nama mereka kelak di coblos pada pemilihan.

Sejatinyalah memang Budaya Tumben sudah cukup dikenal, tetapi belum tentu semua menyadari bahwa kita juga terlibat (melakukannya). Lihat saja perilaku para calon kepala daerah. Setiap akan ada pemilihan, ramai-ramai sang calon keliling kampung, blusukan ke pasar-pasar, bahkan ke tempat yang sebelumnya dianggap tidak layak dikunjungi. Mereka menjual muka dengan berbagai cara agar mukanya dicoblos pada saat pemilihan. Ada yang menyumbang panti asuhan, ada pula yang berpura-pura prihatin terhadap nasib rakyat kecil. Upacara jual muka ini hanya dilakukan sekali dalam lima tahun, dan akan berulang lima tahun berikutnya.

Sayangnya, terlalu banyak rakyat yang ikut larut di dalamnya tanpa memahami bahwa dirinya diperalat. Bahkan, ada yang rela diadu domba dengan saudaranya sendiri demi memenuhi kepentingan sang calon. Perlu saya yakinkan bahwa rakyat tersebut tidak akan mendapatkan apa pun selain kerugian yang besar. Mereka akan segera dilupakan begitu sang calon naik tahta.
Selama lima tahun ke depan tidak akan ada calon-calon yang dulu dielu-elukan menanyakan nasib rakyat, apalagi memperbaikinya. Rakyat tinggal menunggu janji-janji yang tidak akan pernah terpenuhi. Sang raja pasti merasa tidak pernah berjanji apapun terhadap rakyat. Mereka sibuk menata kursi dan mempertahankan posisi.

Namun demikian, kita tidak perlu khawatir. Minimal lima tahun lagi kita akan dipertemukan lagi dengan Upacara Jual Muka dalam Budaya Tumben tadi. Yaitu, tumben baik hati, tumben peduli, tumben bagi-bagi, dan tumben-tumben lain yang tujuannya hanya untuk jual muka. Sebagai rakyat Indonesia, mari kita menyikapi perpolitikan kita secara dewasa. Mari kita berpolitik juga secara dewasa.

GERPOLEK

Sudah kepinggir kita terdesak!
Sampailah konon sisa-ruangan yang tinggal bagi kita dalam hal politik, ekonomi, keuangan, dan kemiliteran.
itulah keadaan yang telah menjadi dasar bagi masyarakat indonesia yang amat menggelora pada masa perjuangan mempertahankan banga indonesia yang telah merdeka.


(silahkan anda klik gambar diatas untuk membaca ebook Gerilya-politik-ekonomi)

Islam dalam madilog

Inilah yang menjadi ciri dari seorang Tan malaka., kritis, realistis, aktif
tinjaun islam dalam madilog sedikit dapat membuka cara pandang kita tentang islam,terutama islam  garis keras,dimana islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk menutup diri serta tidak memaksakan..
(Silahkan anda klik gambar diatas untuk mengakses islam dalam MADILOG)

MADILOG

    Materialis, dialektika dan logika. merupakan sebuah buku karya pejuang besar bangsa indonesia yang memiliki idealisme Komunis dimasanya.
untuk lebih jelasnya silahkan anda membaca buku dalam bentuk ebook dibawah ini

(silahkan klik gambar diatas untuk mengakses ebook madilog dan semoga bermanfaat)