Ada
kebenaran umum yang sering dipakai untuk menjelaskan konflik ini
dalam kajian komunikasi. Katanya, konflik itu adalah konsekuensi dari
interaksi. Kalau tidak berkonflik, ya jangan berinteraksi. Atau juga
bisa diartikan, kalau masih punya kebutuhan untuk berinteraksi dengan
manusia, mau tidak mau, kita harus siap menghadapi konflik.
Ada
juga pepatah yang isinya mirip seperti kebenaran umum itu. Pepatah
itu mengatakan, jika kita mengharapkan adanya seseorang yang jiwa dan
raganya 100% sempurna seperti yang kita inginkan, karena kita
mengkhawatirkan konflik atau lainnya, caranya simpel. Kita tinggal
mengunci kamar dan tinggal sendirian di dalam. Dijamin pasti tidak
akan pernah berkonflik dengan manusia manapun.
Oleh
Horney (Our inner conflict: 1945) dikatakan bahwa kebutuhan
manusia itu pada dasarnya bisa digolongkan menjadi tiga di bawah ini:
1. Kita
butuh bergerak mendekati orang untuk mendapatkan cinta
2. Kita
butuh menjauhi orang untuk mendapatkan kebebasan dan kemandirian
3. Kita
butuh menentang orang untuk menunjukkan kekuatan
Meski
penjelasan di atas nampak ekstrem atau sepertinya hitam-putih, tapi
kalau melihat realitas kehidupan organisasi sehari-hari, baik dari
skala paling mikro sampai ke paling makro, memang konflik itu lebih
sering merupakan kenyataan yang sulit dihindari. Bahkan pandangan
yang skeptik-pesimistik-nya mengatakan, konflik itu
keniscayaan. Kedamaian sendiri terkadang harus ditempuh dengan
perang.
Secara
spiritualnya, kita diajarkan untuk melihat konflik dengan dua
penyikapan. Pertama, kita dianjurkan untuk menghindari
berbagai hal yang memancing atau mengakibatkan konflik, sekuat tenaga
kita. Orang Indonesia terkenal ramah, tepo seliro dan
saling menghormati (katanya). Sebenarnya inti dari nilai itu ingin
mengatakan bahwa konflik tidak berarti rusaknya tatanan keharmonisan
dan persaudaraan, karena konflik itu hanya merupakan indikator adanya
perbedaan yang perlu disinkronisasikan demi mencapai tujuan yang satu
dan sama.
Kedua,
ketika konflik itu sudah tak bisa dihindari lagi, entah sengaja atau
tidak, yang perlu dijaga adalah jangan sampai salah arah
hingga skalanya terus memanas dan akhirnya berubah menjadi permusuhan
atau menimbulkan efek yang merusak, seperti misalnya permusuhan
batin, baku hantam, dan seterusnya. Sekuat apapun organisasi itu
di-back-up oleh resources,
tapi kalau konfliknya di dalam terus memanas, maka organisasi itu
akan kehilangan wibawa atau kekuatannya.
"Hindarilah
perdebatan, walaupun anda benar, ketika itu ujung-ujungnya konflik,
lebih-lebih permusuhan."
Tergantung
Frekuensi dan Efek
Meskipun
konflik itu tetaplah konflik, tapi kalau dilihat dari efeknya, kita
bisa membedakan sedikitnya menjadi dua. Pertama, ada
konflik yang masih fungsional. Konflik dikatakan fungsional ketika
materi yang konflikkan itu terkait dengan perbedaan tentang bagaimana
memacu organisasi untuk lebih maju lagi.
Konflik
fungsional masih menggunakan cara-cara beradab atau terbuka dalam
menyikapi perbedaan sehingga masih bisa diambil sisi-sisi positif
dari setiap perbedaan dan masing-masing pihak masih memiliki hubungan
kemanusiaan yang harmonis. Berdasarkan praktek hidup, konflik disebut
fungsional bukan karena konfliknya, tetapi lebih karena
penyikapannya.
Kedua,
ada yang sudah disfungsional. Konflik akan dikatakan sudah
disfungsional ketika telah mengarah kepada penyerangan, pemboikotan,
atau penghinaan antar anggota organisasi. Biasanya, konflik semacam
ini terjadi ketika konflik itu sudah mendewakan kepentingan
pribadi-pribadi di atas kapal organisasi, menempuh cara-cara
penyerangan secara di balik layar atau melalui skenario keji. Pihak
yang paling dirugikan pertama kali sebetulnya adalah organisasi.
Hal
lain yang juga perlu dilihat dari munculnya konflik dalam organisasi
adalah frekuensinya. Secara frekuensi, organisasi perlu melihat
apakah konflik di dalam organisasi itu sifatnya masih temporal dan
insidental untuk hal-hal tertentu atau keadaan tertentu ataukah
memang sudah kronis. Kronis artinya terus menerus berlangsung atau
sudah seperti penyakit yang tak sembuh-sembuh.
Secara
logika bisa dikatakan bahwa ketika konflik itu masih temporal atau
insidental, bisalah kita memahaminya masih dalam ambang wajar. Tapi
kalau sudah kronis, mau tak mau, organisasi perlu memikirkan
pemecahannya. Sebab kalau tidak, konflik itu mudah mengundang konflik
lain ke tingkat yang sudah multi-dimensi.
Pemicu
Konflik
Apa
yang membuat organisasi itu sangat rentan terhadap munculnya konflik?
Secara superfisial (permukaan), atau bisa dikatakan sebagai
sebab-sebab umum, konflik dalam organisasi itu sering dipicu oleh
beberapa hal di bawah ini:
Pertama,
definisi tanggung jawab atau tugas yang tidak jelas, tidak disepakati
secara jelas, atau tidak dijalankan dengan jelas. Semua
ketidakjelasan ini sangat merentantankan terjadinya tabrakan
antarindividu dalam organisasi. Meskipun pasti tidak ada organisasi
yang sanggup merumuskan seluruh tuntutan dan tugas secara tertulis,
tapi pembagian tugas yang bisa dijadikan acuan individu untuk
berperan tetaplah dibutuhkan.
Pembagian
tugas pun terkadang tidak menjamin jika penjabarannya terlalu ketat
atau belum sesuai dengan kebutuhan. Idealnya, dalam rumusan pembagian
tugas itu tetaplah harus ada tugas-tugas yang bisa disebut mekanistik
atau siapa mengerjakan apa secara definitif dan ada tugas yang bisa
disebut organistik atau tugas-tugas yang perlu dijalankan berdasarkan
cara kerja panggilan naluri dan nurani. Ini semua akan bekerja secara
harmonis berdasarkan pengalaman dan proses.
Kedua,
persoalan resources,
baik itu uang, materi, fasilitas, ruang, dll. Semua organisasi pasti
mengalami kekurangan sumberdaya. Persoalan ini tidak hanya soal
kurangnya resources,
tapi konflik juga bisa timbul kalau kelebihan resources.
Kegagalan mengelola keterbatasan resources,
bisa menimbulkan konflik. Misalnya, sanggup mengelola keterbatasan
dengan tidak membuat program yang tak sesuai kapasitas dan ada yang
programnya melebihi pasak daripada tiang. Sekedar catatan, program
yang tak sesuai dengan resource sangat
memicu konflik, meski belum tentu menciptakan konflik, tapi
positifnya, bisa menghasilkan proses kreatif jika orang-orang bisa
berpikir dan bekerja untuk organisasi, bukan untuk kepentingan diri
sendiri.
Fasilitas
yang melimpah ruah tidak menjamin hilangnya sumber konflik. Bahkan
kalau merenungkan nasehatnya John Dewey, resource dalam
arti materi, itu relatif tersedia untuk semua tingkatan organisasi.
Yang justru sering krisis adalah ide atau gagasan untuk
menggunakan internal resources manusia,
misalnya tidak menggunakan kreativitias, inisiatif, kemampuan
inovatif, daya tahan mental, dsb. Kurangnya
penggunaan resource potensi manusia itu yang
akhirnya sering membuat organisasi benar-benar mengalami
kerugian resource dalam arti materi.
Ketiga, ada self-interest yang
sifatnya egoistik dari sebagian orang di dalam organisasi
itu. Self-interest akan
mendikte perilaku seseorang untuk melawan, mengalahkan, atau menolak
kesepakatan bersama. Karenanya akan memicu konflik.
Agar self-interest ini
tidak muncul, maka organisasi dituntut untuk merumuskan program yang
bisa mengayomi keinginan kolektif dan individu secara adil, bukan
semata berdasarkan klaim.
"Organisasi
dituntut untuk merumuskan program yang bisa mengayomi keinginan
kolektif dan individu secara adil, bukan semata berdasarkan klaim."
Peranan
Leadership
Peranan
kepemimpinan sangat vital. Selain berperan untuk mengelola berbagai
faktor pemicu di atas, kepemimpinan juga berperan untuk menampilkan
model dan kualitas kepemimpinan yang tidak mengundang konflik. Model
kepemimpinan yang terlalu otoriter terkadang sama rawannya dengan
model kepemimpinan yang terlalu demokratis.
Terlalu
otoriter dapat menciptakan suasana ketegangan dan kebuntuan
inisiatif. Tapi kalau terlalu demokratis, ini juga dapat memberi
ruang kebebasan yang tanpa batas. Ketegangan dan keliaran sama-sama
merawankan konflik. Karena itu sering dikatakan bahwa syarat
kepemimpinan yang mendasar adalah kemampuan seseorang dalam memimpin
dirinya lebih dulu (self-control).
Kepekaan
kontrol akan memampukan seseorang untuk mengurangi yang berlebihan,
menambah yang kurang atau menyesuaikan keadaan. Pada dasarnya, semua
model kepemimpinan itu ada baiknya, asalkan digunakan untuk kondisi
yang tepat, dalam porsi yang tidak kebablasan dan dijalankan
oleh orang yang visinya bukan untuk kepentingan pribadi.
Nilai–nilai
universal, nilai kultural atau nilai personal yang dijadikan acuan
dalam organisasi itu juga punya keterkaitan dengan konflik.
Organisasi yang nilai-nilainya sudah menjadi budaya hidup akan lebih
terhindar dari munculnya konflik yang sudah disfungsional atau
kronis. Ini karena nilai-nilai itulah yang membimbing semua orang
dalam organisasi.
Tetapi
jika nilai-nilai itu hanya dijadikan "alat kepentingan"
atau sekedar tulisan yang dipampang di tembok, biasanya wibawa
nilai-nilai itu kurang dahsyat membentuk prilaku. Artinya, kepemimpin
itu menuntut siapa saja untuk menjadi "man of value",
bukan semata "man of interest". Karena itu, meminjam
istilahnya Peter Senge (Learning Organization, Dr. Sue Faerman:
1996), kepemimpinan dalam organisasi itu perlu berperan
sebagai berikut:
1. Designer:
merumuskan apa yang perlu dilakukan, mendesain pembagian
tugas secara proporsional, adil, dan sesuai kompetensi orang-orang
yang dimiliki
2. Teacher :
guru yang membina keahlian kerja dan membimbing pribadinya
3. Steward :
pemberi guidance dalam
melaksanakan tugas atau dalam menyelesaikan masalah
Bagi
Senge, ketiga peranan di atas adalah syarat untuk menjadikan
organisasi sebagai tempat belajar bagi orang-orang di dalamnya.
Belajar berarti mengubah diri untuk mengubah keadaan. Organisasi yang
belajar menuntut individu yang belajar. Konflik akan relatif menjauhi
individu yang belajar. Kalau pun konflik itu harus terjadi, biasanya
tak sampai mengakibatkan kerusakan.
"Kepemimpin
itu menuntut siapa saja untuk menjadi man of value, bukan
semata man of interest".
Lebih
Baik Ada Pemimpin
Ketika
konteksnya organisasi, mau itu keluarga, usaha, sosial, atau negara
sekali pun, kehadiran kepemimpinann sangatlah vital dalam mencegah
konflik atau dalam mengarahkan energi organisasi untuk belajar dari
konflik. Kenapa? Salah satu alasannya adalah, ketika manusia masuk
dalam organisasi, biasanya yang paling menonjol adalah watak
sosialnya.
Semua
watak sosial manusia memiliki ciri yang sama, yaitu membutuhkan
kehadiran orang lain yang membimbing, melatih, mengontrol, atau
memimpin. Karena itu dikatakan bahwa organisasi itu akan lebih baik
ada orang yang memimpin atau dianggap sebagai pemimpin, meski dia
bukan sosok yang sempurna, ketimbang tidak ada pemimpinnya sama
sekali.
Kita
mungkin sudah sering mendengar cerita dimana ada sejumlah orang
pintar yang ditugaskan untuk sebuah misi, namun akhirnya gagal
mencapai tujuan dari misi. Mereka bertengkar karena masing-masing
merasa menjadi pemimpin yang sama pintarnya. Tapi, giliran yang
ditugaskan itu ada orang pintarnya yang menjadi pemimpin atau
dianggap pemimpin oleh yang lain, ternyata hasilnya lebih bagus.
meski postpartus namun ketiadaan sampah dalam diri memang harus dibentengi..
BalasHapusberjalan tanpa mata memang bisa namun berjalan tanpa hati tak semudah yang kita bayangkan..
secara, komunikasi memang perlu namun jngn sampai ada perkelompokan seperti dadu. bergerombol tertawa bersama namun pengen menang sendiri2..