Minggu, 29 April 2012

Resensi Film

Pornografi merupakan bisnis yang besar dan bisa dikatakan  menjadi pemicu masalah moral. Salah satu bentuk pornografi adalah dalam AV (Adult Video). Tidak seperti yang anda  lihat dalam tayangan film dan yang anda bayangkan, ternyata di balik pembuatan film tersebut ada beberapa fakta  mengejutkan yang jarang terexpose kepermukaan. Artisnya mengalami semacam “tekanan” dalam menjalankan profesi tersebut. Pada dasarnya profesi ini bukanlah sebuah profesi yang didasari hobi atau semacamnya, melainkan karena suatu keterpaksaan.

Para artis (pekerja) tersebut terkooptasi dan tereksploitasi oleh para kapitalis (pemilik modal).  Di sini anda janganlah melihat suatu dari luarnya saja karena tidak jarang nilai-nilai yang lebih substansial berada jauh di dalamnya.

Beberapa fakta dalam pembuatan AV (Adult Video) :
  1. Proses pembuatan film bisa memekan waktu 18 jam dalam sehari dan dalam sehari bisa shooting untuk 2 s/d 4 scene yang berbeda.
  2. Saat shooting sangat menyiksa baik secara fisik maupun mental. Sekitar 15 orang ikut di dalam nya mulai sutradara dst (melihat adegan secara langsung). Setiap scene bisa berlangsung berjam-jam tergantung dari aktornya apakah bisa “tampil” sesuai dengan harapan sutradara dan apa si artis yang harus istirahat dulu karena rasa sakit saat melakukan adegan hardcore.
  3. Saat menunggu scene berikutnya biasanya si “pemain” menghabiskan waktu untuk minum-minuman keras atau menggunakan narkoba untuk mengurangi rasa sakit dan malu dalam adegan scene berikutnya.
Kalau kita berbicara AV (Adult Video) kurang lengkap kalau tidak membicarakan Negara Jepang. Industri AV sangar menjamur di Negara ini. Umumnya bisnis ini di kuasai oleh “YAKUZA”. Di Jepang pornografi adalah bisnis yang legal. Namun dalm pengertian legal tersebut di dalamnya terdapat pakem-pakem tertentu yang harus di patuhi, misal di larang memperlihatkan secara transparan alat kelamin dll. Di lihat dari prespektif agama Shinto ( agama mayoritas penduduk Jepang) sebenarnya tidak melarang memperlihatkan alat kelamin, sebagai contoh dalam festifal ” jabate” (membuat patung dari kayu yang melambangkan alat kelamin). Terlepas dari itu di Jepang sangat dilarang memperlihatkan alat kelamin secara transparan  yang di tetapkan dalam hukum Negara.

Marak dan bebasnya peredaran barang-barang pornografi di Jepang ternyata berbanding terbalik dengan relatif  kecilnya prosentase angka kejahatan seksual seperti pemerkosaan. Satu contoh kecil saja seperti pandangan mata nakal, siulan, dan anak muda yang duduk bergerombol mengganggu gadis  yang lewat di jalan tampaknya sangat tidak umum dilakukan di Negara tersebut.

Pornografi bukan sekedar memperlihat tubuh dalam rangka kebebasan ekspresi. Didalamnya ada masalah sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Kebebasan memerlukan aturan dan kontrol yang jauh lebih ketat,  dengan kata lain diperlukan kedewasaan dan tanggung jawab pada semua orang. Tanpa di ikuti oleh hal tersebut, maka KEBEBASAN akan menjadi PERCUMA.

Salam Mahasiswa..!!

EOP_ 02/01/12

0 komentar:

Posting Komentar